HABIS DIPATAHKAN

Sudah hampir setengah tahun aku mulai fokus menulis, sudah sekian kata tanpa dikara kujatuhkan seenaknya. Dan manusia di hadapanku inilah yang selalu merapihkannya. Menyiraminya sampai bertunas, memupuknya hingga dapat berbunga di tengah panas.

Aku ingat masa itu, Desember tahun lalu, kali pertama gabungan frasaku dikomentari sosoknya yang entah datang dari mana.

Ariani.

Semenjak pertengahan bulan, notifikasi dari nama itu mulai berubah menjadi candu. Setiap malam aku mencarinya. Alasanku sederhana, membenahi kata. Padahal, aku jatuh cinta.

“Kamu sendirian kesini?”

Suara itu seketika memecah lamunanku akan masa-masa dulu. Kuhadapkan pandang ke arahnya, serpihan-serpihan memori seketika berhamburan saat kutatap parasnya.

“Tidak, aku berdua.” jawabku sederhana.

“Oh ya? Sama siapa?” tanyanya lagi.

“Sama bayangan.” jawabku lagi dengan sedikit terkekeh.

“Ih, dasar!” ia sontak mencubit lenganku gemas.

Dipikirnya aku bercanda mungkin. Padahal, itu sungguhan. Aku pergi ke kotanya dengan membawa bayangan. Iya, bayangan masa lalu yang masih menari-nari manja di kepala, yang mulai berdengap dibungkam masa.

“Kamu mau makan apa? Biar nanti aku ambilin.” ucapnya dengan mata melilau, mencari-cari makanan yang sekiranya nikmat untuk dimakan.

“Ndak usah. Ohiya, aku ada sesuatu,” balasku mengalihkan pembicaraan.

"Apa?" ia menatapku heran.

"Ini,” ucapku sambil mengeluarkan kotak yang sudah kulapisi bungkus kado warna-warni.

“Wah! Makasih banyak!” sosoknya berubah sumringah, bisa kulihat ada bahagia yang terkondensasi lewat tatapnya, “padahal nih ya, kamu yang udah dateng jauh-jauh dari Bekasi ke Makassar aja udah hadiah banget buat aku.”

Aku bergeming menatap senyumnya. Bongkahan rindu yang sudah sekian lama membatu runtuh seketika. Aku terikat senyumnya, terbawa bertualang sampai antah-berantah.

“Ariani, aku minta maaf,” ia menatapku kebingungan, “dulu aku terlalu pengecut dengan mikir kita nggak akan berhasil cuma karena masalah jarak yang menurutku nggak bisa dicicil.”

Aku meracau ketika menyadari kalau tunas-tunas impian yang pernah kami berdua tumbuhkan harus dibabat habis sampai ke akar.

“Andri, jujur aku pernah terlalu naruh harap, ke kamu,” ucapnya dengan manik mata bergetar, “sampai-sampai aku lupa diri. Padahal, aku ini siapa, berani menaruh harapan sebegitu tinggi.”

Tubuhku awalnya hanya diam mematung. Namun entah kenapa, tanganku bergerak sendiri mengelus rambutnya setelah melihat ada pilu yang perlahan merangkak keluar dengan paksa.

“Kamu Arianiku, dulu. Dan kamu adalah orang yang akan menjadi sangat bahagia, setelah ini semua.”

Kemudian ia bangkit dari duduk, melangkah pergi sambil berusaha kuat membendung derasnya air yang sudah terkumpul pada pelupuknya.

Aku hanya diam, menjelma awan hitam setelah panas tak karuan. Terlihat tenang, padahal terbakar sinar matahari siang.

Menatap langkahnya menjauh, membuatku semakin sukar membendung tangis. Melihat sanggul hitam dan kebaya putih mutiara yang seindah senyum di tengah lesung pipitnya semakin membuat air mataku terjun lebih cepat dari seharusnya.

Ia kemudian kembali ke kursi pelaminan, bersanding dengan orang yang dulu katanya hanya sebatas teman.


—lunatictwister
#AksaraSelepasSenja

Share this:

CONVERSATION

1 comments: